Analisis Cerpen

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Karya sastra merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dengan memberi kebebasan pada pengarang untuk menuangkan kreatifitas imajinasinya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi lain, tidak lazim, namun juga bersifat kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran, dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi terbata-bata untuk berkomunikasi dengannya (Nurgiyantoro, 2007:34-35).

Usaha untuk dapat memahami karya sastra (termasuk prosa fiksi) diperlukan suatu pendekatan. Salah satu pendekatan dalam menganalisis prosa fiksi adalah pendekatan struktural. Cerita pendek, yang selanjutnya disebut cerpen adalah karya sastra jenis prosa fiksi. Untuk lebih memahami tentang sebuah cerpen bisa menggunakan pendekatan struktural. Pada kesempatan ini akan dianalisis sebuah cerpen yang berjudul “Sungai”, karya Nugroho Notosusanto. Cerpen tersebut tidak terlalu sulit untuk dipahami pembaca, karena menggunakan bahasa yang sederhana. Namun demikian ada beberapa bagian yang tidak serta merta bisa langsung dipahami, kecuali , mungkin dengan dibaca berulang-ulang.

Untuk itulah, sebagai salah satu upaya membantu memahami cerpen, penulis bermaksud  menganalisis cerpen dengan pendekatan struktural. Melalui pendekatan struktural, semoga pesan-pesan yang tersirat maupun yang tersurat dalam cerpen “Sungai” dapat dipahami oleh pembaca cerpen tersebut sera dapat menggali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut.

1)      Bagaimanakah menganalisis cerpen “Sungai” karya Nugroho Notosusanto melalui pendekatan struktural?

2)      Apa sajakah nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen “Sungai” karya Nugroho Notosusanto?

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dan penyajian makalah ini adalah sebagai berikut.

1)      Mendeskripsikan tentang analisis cerpen “Sungai” dengan pendekatan struktural.

2)      Menggali nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen “Sungai” karya Nugroho Notosusanto.
BAB II

PEMBAHASAN

Sinopsis Cerpen “Sungai”

Cerpen ini mengisahkan peristiwa yang terjadi pada saat tanah air tercinta ini (Indonesia) dalam penguasaan penjajah Belanda, pada tahun 1948. Tentara Belanda telah menduduki Yogya, persetujuan gencatan senjata telah dilanggar, dan Republik tidak merasa terikat lagi oleh perjanjian yang sudah ada.

Adalah Sersan Kasim, Kepala Regu 3, Peleton 2 dari kompi TNI terakhir yang akan kembali ke daerah operasinya di Jawa Barat. Bersama para tentara lainnya, mereka berjalan dalam jarak Yogya-Priyangan. Mereka berjalan kaki, menempuh jarak lebih dari 300 kilometer, turun lembah, naik gunung, menyeberangi sungai kecil dan besar. Akhirnya mereka tiba kembali di tepian Sungai Serayu. Angin pegunungan dari seberang lembah, ditambah lagi air hujan yang mengguyur, membuat mereka menggigil kedinginan. Dengan cermat Sersan Kasim kembali memperbaiki letak selimut berlapis dua yang menyelimuti Acep, seorang bayi mungil, anaknya. Ibunya meninggal sehari setelah melahirkannya dalam pengungsian di Yogya. Ya, dalam perjalanan sejauh itu Sersan Kasim membawa serta anaknya, karena ia tak mau menitipkan pada penduduk yang asing baginya.

Dari mulut ke mulut, ada pesan dari depan, agar para kepala regu kumpul. Sersan Kasim dan kepala regu lainnya ke depan, Komandan Peleton sudah menanti di depan Regu 1. Mereka menerima instruksi tentang penyeberangan. Melalui intelligence, terdengar kabar bahwa musuh menjaga tepian sana dengan kekuatan satu kompi. Karena pengawasan ketat, mereka memutuskan untuk menyeberangi sungai lebih ke hilir, walaupun kemungkinan ketinggian air sungai mencapai dada.

Setelah para ketua regu menuju ke anak buahnya masing-masing, Sersan Kasim merasa pandangan komandan mengisyaratkan  kalau bayinya dapat membahayakan lebih dari seratus prajurit, sebagaimana telah terjadi sebelumnya. Tangisan satu bayi yang kemudian menular pada anak kecil lainnya saat dalam perjalanan, membuat musuh tahu, bahwa sedang ada perjalanan tentara Republik dan para keluarganya. 16 prajurit dan 10 keluarganya terkena serangan mendadak musuh, hanya karena diawali tangis seorang bayi. Bagi Sersan Kasim tak ada pilihan lain kecuali tetap membawa bayinya.

Mereka mulai menyeberangi sungai. Semakin ke tengah semakin dalam, mencapai perut, kemudian hampir ke dada. Mereka semakin kedinginan, terlebih Sersan Kasim. Bukan saja karena hujan dan basah oleh air sungai, tapi karena Acep mulai gelisah dan meronta dalam gendongannya. Tangisnya pun akhirnya memecah kesunyian. Para prajurit berdegup jantungnya, menahan nafas, saling memandang dan terpaku di tempatnya. Di hulu sungai sebuah peluru kembang api ditembakkan ke udara. Langit jadi terang benderang. Seluruh kompi memandangnya; bergantung kepadanya. Nasib seluruh kompi tertimpa pada bahunya.

Tak ada yang tahu pasti, apa yang terjadi dalam beberapa menit kemudian, yang terasa seperti berjam-jam. Juga Sersan Kasim, tak sadar. Yang ia tahu anaknya menangis, dan setiap saat musuh dapat menumpasnya dengan menembakkan peluru dan mortir.

Sejurus kemudian suara Acep meredup. Sesaat lagi lenyap sama sekali. Tembakan berhenti dan pasukan dapat tiba di seberang dengan selamat.

Keesokan harinya, saat fajar merekah para prajurit menunda perjalanannya untuk berbela sungkawa dalam upacara singkat pemakaman Acep. Komandan Kompi menghampiri Kasim, menggenggam tangannya. Dalam angannya terbayang pengorbanan Nabi Ibrahim yang siap mengorbnkan putranya, Ismail.

2.1 Analisis Struktural Cerpen “Sungai” Karya Nugroho Notosusanto

Berikut akan diuraikan analisis struktural cerpen “Sungai”  dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur instrinsik cerpen yang dimaksud.
2.1.1 Tema

Tema yang diangkat dalam cerpen “Sungai” adalah tentang kasih sayang seorang suami kepada istrinya, kasih sayang bapak kepada anaknya, dan pengorbanan dari apa yang sangat dikasihinya, untuk mendapatkan sesuatu yang lebih mulia. Dalam rangkaian ceritanya, penulis hendak menyampaikan kepada pembaca bahwa pada saat-saat tertentu dalam kondisi yang sangat mendesak/darurat, dituntut dengan penuh kesadaran dan keikhlasan untuk siap berkorban.

Hal ini tercermin dalan cerpen “Sungai”, Sersan Kasim yang akhirnya mengijinkan istrinya ikut menyertai hijrahnya ke Yogya, walau dalam kondisi yang seba sulit, dan istrinya bersikeras untuk ikut. Kemudian Sersan Kasim memilih untuk tetap membawa bayinya dalam perjalanan panjang yang penuh resiko, dari pada menitipkannya pada orang asing. Dan dalam kondisi yang sangat terdesak, Sersan Kasim “mengorbankan “ anak yang sangat dikasihinya untuk menyelamatkan ratusan prajurit lainnya dari serangan musuh.

2.1.2 Setting

Setting adalah latar peristiwa, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis (Aminudin, 2004:67). Berikut akan dicoba diuraikan setting dalam cerpen “Sungai”

1)      Setting Tempat

(1)   Sungai

Dari judulnya, cerpen tersebut menggambarkan bahwa kisaran tempat adalah di sungai, tepatnya Sungai Serayu, di kaki pegunungan daerah Banjarnegara. Cerpen ini diawali dengan istilah menyeberangi sungai,  dan pada klimaks cerita, peristiwa itu terjadi di sungai, dalam perjalanan Yogya-Priangan.

(2)   Jawa Barat

Jawa Barat adalah daerah operasi tempat Sersan Kasim bertugas. Daerah yang ditinggalkannya karena Sersan Kasim beserta beberapa kompi prajurit harus meninggalkannya untuk hijrah ke Yogya, kota yang diduduki Belanda seiring dengan pelanggaran persetujuan gencatan senjata.

(3)   Yogya

Yogya adalah tempat tujuan hijrah TNI, dan tempat Acep, anak Sersan Kasim dilahirkan, sekaligus tempat istri Sersan Kasim meninggal sehari setelah Acep dilahirkan dengan sisa tenaganya.

(4)   Di pinggir desa

Tempat Acep dimakamkan, saksi bisu pengorbanan Sersan Kasim.

2)      Setting Waktu

(1)   Jam satu malam

Malam yang gulita dan hujan di mana pada saat itu para prajurit melakukan perjalanan menuju ke Priangan, Jawa Barat. Perjalanan dilakukan dengan jalan kaki, dan dilakukan malam agar tidak diketahui oleh musuh.

(2)   Sepuluh bulan yang lalu

Tepatnya pada bulan Februari 1948, ketika Sersan Kasim dan kompi lainnya sera para keluarganya juga menyeberangi sungai yang sama. Pada saat itu istri Sersan Kasim memaksa untuk menyertai suaminya, walau dalam kondisi hamil.
(3)   Pada waktu fajar merekah

Saat para prajurit menunda perjalanan untuk menyertai pemakaman Acep.

(4)   Matahari telah naik

Hari mulai siang, kompi segera melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Dalam cerpen dituliskan, “matahari telah naik, menghalau kabut kemana-mana, memanasi bumi yang lembab oleh hujan semalam.” Penulis menafsirkan bahwa keputusan terberat yang diambil Sersan Kasim dan menyelamatkan banyak nyawa menjadi sebuah pengorbanan yang mulia, sebagaimana Nabi Ibrahim, yang siap mengorbankan anak tercintanya untuk memenuhi ujian akan kecintaannya kepada Alloh SWT. Kini para prajurit itu telah selamat, dan ada harapan baru dengan semangat yang baru, dengan tetap melanjutkan perjuangan.

3)      Setting Peristiwa

Cerpen “Sungai” mengisahkan peristiwa pada masa “perang”. Meskipun sudah tiga tahun Indonesia merdeka, namun Belanda masih bercokol di Indonesia dan masih ingin menguasai kembali.

2.1.3 Penokohan dan Perwatakan

1) Tokoh Inti/Tokoh Utama

Cerpen “Sungai” menampilkan tokoh inti atau tokoh utama, yaitu Sersan Kasim yang memiliki watak penyayang; nampak betapa ia menyayangi istrinya yang baru setengah tahun  dinikahinya. Selain itu Begitu sayangnya ia kepada Acep anaknya, makanya ia bersikeras untuk tetap membawa Acep dalam perjalanan yang sulit dan penuh tantangan dari pada menitipkannya pada orang asing, khawatir akan keselamatan dalam pengasuhannya. Hanya bapaknyalah keluarga yang dimilikinya, tanpa tahu ibunya, Sersan Kasim ingin tetap bersama dan mengasuh dalam buaian dan kasih sayangnya.   Bertanggung jawab; sebagai seorang pimpinan regu, ia bertanggung jawab atas keselamatan anak buahnya. Bahkan iapun mempertaruhkan harapan idam-idamannya, biji matanya, anak kesayangannya untuk menjadi jaminan atas keselamatan anak buahnya sera anggota kompi yang lainnya.

3)      Tokoh Tambahan/Tokoh Pembantu

Cerpen “Sungai” menampilkan Komandan Peleton sebagai tokoh pembantu yang melengkapi penokohan Sersan Kasim. Komandan adalah pimpinan yang cermat, bertanggung jawab, dan bijak dalam memutuskan. Pada saat ia mendapat informasi tentang keberadaan musuh yang berjaga-jaga di hulu sungai, ia mengambil langkah yang tepat untuk segera mengumpulkan para pemimpin regu, kemudian menyampaikan info tersebut dan mengambil sikap untuk memerintahkan para pemimpin regu untuk memimpin anak buahnya menyeberang lewat hilir sungai. Bertanggung jawab dan bijak, nampak ketika ia mengumpulkan para ketua regu, mengingatkan kepada Sersan Kasim tentang banyaknya prajurit yang menjadi korban, gara-gara tangis bayi yang memecahkan kesunyian, hingga perjalanan rombongan tentara dan para keluarganya tercium musuh. Namun demikian, sisi manusiawinya menjadikan ia bijak ketika akhirnya mengijinkan Sersan Kasim tetap akan membawa anaknya  dengan catatan tetap waspada akan keselamatan semua prajurit.

2.1.4 Plot/Alur Cerita

Cerpen “Sungai’ yang terdiri dari 31 paragraf merupakan tahapan-tahapan yang membentuk rangkaian cerita. Tahapan-tahapan tersebut menurut Loban dkk. (dalam Aminudin, 2004:85) dapat digambarkan sebagai berikut.

Klimaks

Komplikasi

dan konflik                                                                       Revelasi

catastrophe

Eksposisi
Keterangan gambar:

1)      Eksposisi, merupakan uraian/paparan  yang disajikan penulis sebagai pembuka untuk memasuki ceritanya. Paparan sifatnya masih datar, belum nampak intrik-intrik yang dapat memicu konflik. Dalam cerpen “Sungai” eksposisi digambarkan  pada paragraf 1,2,3, dan 4

2)      Komplikasi dan konfliks, merupakan intrik-intrik awal yang akan berkembang hingga menjadi konflik. Dalam cerpen “Sungai, komplikasi dan konflik digambarkan mulai dari paragraf 5 s.d. paragraf 19. Melalui paragraf  tersebut  dikisahkan tentang perjalanan kompi yang bersamanya Sersan Kasim membawa serta istrinya, kemudian istrinya meninggal, dan kini dia harus kembali melakukan perjalanan jauh dengan kompi lainnya dengan membawa anaknya. Mulai muncul konflik ketika komandannya mengisyaratkan untuk tidak membawa serta anaknya, dan Sersan Kasim tetap meminta ijin untuk membawanya.

3) Klimaks, merupakan situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar yang paling tinggi. Hal ini nampak pada paragraf 20 sampai 25, dimana Sersan Kasim dalam kondisi paling sulit, mempertahankan keselamatan anaknya, dari garangnya alam yang tidak bersahabat ketika menyeberang sungai yang kedalamannya hampir mencapai dada bapaknya yang menggendongnya, ditambah dengan guyuran hujan yang membuat badan mungilnya basah dan dingin. Namun di luar kemampuannya, Acep menangis, dan melolong. Di dorong oleh tanggung jawabnya sebagai pimpinan regu atas keselamatan anak buahnya, ia melakukan “sesuatu” (penulis tidak menyatakan dengan jelas apa yang dilakukan Sersan Kasim) untuk menghentikan tangis anaknya. Acep benar-benar diam, tak menangis lagi, tidak hanya untuk saat itu, tetapi untuk selamanya.

4) Revelasi, merupakan menyingkapan tabir suatu problema, dimana keesokan harinya baru para prajurit tahu, bahwa Acep telah meninggal. Penulispun tidak menyatakan apakah mereka tahu penyebabnya atau tidak, namun dari apa yang tersirat dalam “tatapan Komandan” mengisyaratkan bahwa apa yang terjadi semalam adalah bentuk pengorbanan terbesar bagi Sersan Kasim, dengan penulis memunculkan angan-angan sang Komandan tentang pengorbanan Nabi Ibrahim. Hal ini terdapat pada paragraf 26 sampai 27.

5) Catastrophe, merupakan penyelesaian yang menyedihkan dan solution yakni penyelesaian yang masih bersifat terbuka, karena pembaca sendirilah yang dipersilahkan menyelesaikan lewat daya imajinasinya. Hal ini tergambar pada paragraf  28 sampai 31. Kesediham yang dalam terukir jelas pada wajah Sersan Kasim. Keharuan yang luar biasa kini meluap-luap dalam dadanya, membanjir, menghanyutkan. Tak ada lagi buah hati yang diidam-idamkan sebagai penerus cita-citanya, tak ada lagi oleh-oleh yang akan dipersembahkan untuk orang tuanya, tak ada lagi pelipur laranya….

2.1.5 Titik Pandang (Point of View)

Titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Titik pandang dalam cerpen “Sungai”, adalah narrator observer, sebab pengisah hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku . pengarang menyebut pelakunya dengan ia, dia, dan nama-nama lain.

2.1.6 Gaya  (Style)

Gaya (style) merupakan cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.Unsur-unsurnya antara lain terletak pada pilihan kata, penataan kata dalam kalimat, dan nuansa makna serta suasana penuturan yang ditampilkannya.

Cerpen “Sungai”  banyak menampilkan kata-kata istimewa yang bersifat “asosiatif-reflektif”. Penataan kata dalam kalimatnya juga istimewa, serta nampak nuansa makna penuturan yang ditampilkannya pun berbeda. Ada beberapa pilihan kata dalam penataan yang istimewa, yang disuguhkan penulis untuk memperindah bahasanya, misalnya keharuan mendenyutkan jantungnya; cuaca gulita dan murung, hujan turun selembut embun, namun cukup membasahkan; rambutnya lebat seperti hutan di Priangan;  rasa sayang membual keluar dan menyesakkan kerongkongan Kasim; fajar merekah; merobek-robek kesunyian malam dari tebing ke tebing; suaranya tajam menyayat hati; serta pada kalimat Matahari telah naik, menghalau kabut kemana-mana, memanasi bumi yang lembab oleh hujan semalam.

Selain pilihan kata dalam penataan yang istimewa, terdapat variasi panjang pendek kalimatnya. Misalnya ada kalimat yang hanya terdiri atas dua kata, seperti pada kalimat Acep menangis. Terdapat juga kalimat yang hanya terdiri atas komplemen, seperti Melolong-lolong. Serta terdapat kalimat yang panjang, misalnya pada paragraf di bawah ini.

Sunyi turun kembali ke bumi, berat menekan di dada sekian puluh lelaki yang jantungnya berdegup seperti bedug ditabuh bertalu-talu. Kembang api di langit mulai mati,, dan kelam mulai menyelimuti kembali suasana di lembah sungai itu. Kini tang terdengar hanya derau air yang tak putus-putusnya ditingkah oleh kwek-kwek-kwek katak di tepian.

Dengan kata lain, beberapa paragraf  banyak mengandung unsur-unsur gaya bahasa atau figurative language seperti repetisi, metonimi, dan hiperbola.

2.2    Nilai-nilai Cerper “Sungai” karya Nugroho Notosusanto

Setelah dilakukan analisis , dapat digali nilai-nilai yang hendak disampaikan penulis melalui karyanya, antara lain sebagai berikut.

2.2.1        Kasih sayang

Sebagaimana dalam cerpen tersebut, yang ditokohkan oleh Sersan Kasim. Kasing sayang pada istrinya tergambar bagaimana akhirnya ia mengijinkan istrinya yang memaksa ikut, walau sedang hamil. Juga kepada anaknya. Ia ingin selalu merawatnya, mendampinginya, memberi kehangatan kasih sayang  padanya.
2.2.2 Tanggung jawab dan amanah

Sebagai pemimpin, ia harus menjaga keselamatan anak buahnya. Meski dalam kondisi tersulit ia dituntut untuk selalu mengambil keputusan yang tepat dan bijak. Ia tetap bisa memimpin walau dengan menggendong bayinya.

2.2.3 Pengorbanan

Dalam menjalankan amanahnya, apapun akan dilakukan. Untuk menjaga keselamatan anak buahnya, ia berusaha “mendiamkan “ bayinya yang menangis, agar pernyeberangan mereka tidak diketahui musuh. Ia lakukan hal yang terberat dalam hidupnya, ketika anak satu-satunya, warisan dari istri tercinta, pelipur laranya, akhirnya dikorbankan sebagai tanggung jawabnya sebagai pimpinan. Tidak dijelaskan dengan pasti, apa yang dilakukan Sersan Kasim untuk mendiamkan bayinya. Yang jelas Komandan Peleton teringat akan Nabi Ibrahim yang siap mengorbankan buah hatinya, Ismail untuk sesuatu yang mulia, sebagai bukti kecintaannya pada Alloh SWT.
BAB III

PENUTUP

3.1        Kesimpulan

Setelah melakukan analisis struktural cerpen “Sungai” karya Nugroho Notosusnto, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, analisis struktural dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsiknya. Kedua, melalui cerpen “Sungai”, Nugroho Noto Susanto hendak menyampaikan pesan tentang nilai kasih sayang, tanggung jawab dan amanah, serta pengorbanan.

3.2        Saran

Melalui analisis sederhana ini diharapkan kepada semua pihak  peduli untuk lebih memperhatikan dan mengaprresiasi karya sastra, khususnya bagi mahasiswa pascasarjana program studi  Pendidikan Bahasa Indonesia. Secara berkesinambungan komitmen ini diteruskan kepada guru/pendidik dan pecinta sastra Indonesia, untuk lebih menghargai karya anak negeri dalam pembentukan karakter bangsa melalui karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Dewan Redaksi. 2007. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.

Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M.. 1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!